Jelaskan sejarah lisan dalam istana
Sejarah
easterynwolf7172
Pertanyaan
Jelaskan sejarah lisan dalam istana
1 Jawaban
-
1. Jawaban reginamutiara
Sejarah Lisan di Indonesia
Pengakuan kembali terhadap sejarah lisan juga bergaung ke Indonesia, meskipun terlambat 34 tahun, yakni dimulai pada tahun 1964 oleh sejarawan dari Universitas Indonesia, Nugroho Notosusanto dengan proyek Monumen Nasionalnya yang mengumpulkan data-data sejarah Revolusi Indonesia 1945-1950.
Kerja sejarah lisannya lalu dipusatkan pada keberhasilan para perwira TNI Angkatan Darat menggagalkan kudeta Gerakan 30 September 1965 sebagaimana terlihat dalam karyanya, “40 Hari Kegagalan G-30-S”. Sejak tahun itu Notosusanto memfokuskan kerja sejarah lisannya pada upaya menulis riwayat hidup para tokoh militer atau tentang sejarah militer Indonesia.
Sejarah lisan semakin kokoh di Indonesia terutama setelah ANRI (Arsip Nasional Republik Indonesia) melaksanakan proyek sejarah lisan. Penanggung jawabnya adalahSoemartini, Kepala ANRI periode 1971-1991. Ia dibantu tim Panitia Pengarah Sejarah Lisan dengan ketua Harsja W. Bachtiar, seorang guru besar sosiologi dan sejarah perkembangan masyarakat pada Universitas Indonesia. Panitia Pengarah beranggotakan empat sejarawan, yaitu Sartono Kartodirdjo,Taufik Abdullah, Abdurrachman Surjomihardjo, dan A.B. Lapian. Pada saat itu Kartodirdjo sudah berpredikat sebagai guru besar sejarah pada Universitas Gajah Mada, Jogjakarta.
Meski Notosusanto merupakan perintis sejarah lisan di Indonesia, namun yang paling berjasa menyebarluaskan perkembangan sejarah lisan di Indonesia adalah Soemartini dan Harsja Bachtiar. Ini terjadi karena keduanya banyak melibatkan sejarawan dari berbagai perguruan tinggi di Indonesia dengan memberikan pelatihan dan membentuk pusat sejarah lisan di beberapa daerah antara bulan Juni hingga Desember 1981.
Hasilnya adalah 9 kelompok sejarah lisan daerah, yaitu Medan (Sumatera Utara), Pekanbaru (Riau), Palembang (Sumatera Selatan), Jakarta, Bandung (Jawa Barat), Jogjakarta, Banjarmasin (Kalimantan), Ujung Pandang (sekarang Makasar, Sulawesi Selatan), dan Menado (Sulawesi Utara). Perwakilan dari masing- masing kelompok sejarah lisan daerah inilah yang diundang pada acara Lokakarya Sejarah Lisan ANRI pada tanggal 14-17 Juni 1982 di Jakarta.
Sejumlah kursus singkat seputar sejarah lisan diadakan misalnya oleh Masyarakat Sejarawan Indonesia (MSI) Cabang Jogjakarta bekerja sama dengan Fakultas Sastra Universitas Gajah Mada pada tahun 1988 dan 1990 serta MSI Cabang Sulawesi Selatan dengan Fakultas Sastra Universitas Hasanudin pada tahun 1990. Peserta kursus singkat ini terdiri dari para sejarawan dari berbagai perguruan tinggi di Indonesia.
Meningkatnya minat sejarawan Indonesia terhadap penelitian sejarah lisan mendorong pihak ANRI pada tahun 1992 untuk membentuk divisi khusus yang menangani sejarah lisan, yaitu Sub Bidang Sejarah Lisan. ANRI melalui Proyek Sejarah Lisannya mempunyai peranan sebagai motor penggerak dalam mengembangkan sejarah lisan di Indonesia yang telah dirintis oleh Nugroho Notosusanto dengan proyek Monumen Nasionalnya. Dalam kurun waktu 1964-1992, sejarah lisan di Indonesia telah mengalami masa pasang surut. Tahun 1964 – 1975 merupakan era pertumbuhan awal yang dipelopori oleh dua lembaga pemerintah, yakni Pusat Sejarah ABRI yang dipimpin Nugoroho Notosusanto dan ANRI yang dipimpin Soemartini. Namun para sejarawan Indonesia lebih mendukung Proyek Sejarah Lisan ANRI daripada yang dikembangkan oleh Pusjarah ABRI. Oleh karena itu cukup penting menyimak hasil laporan Panitia Pengarah Proyek Sejarah Lisan ANRI pada konferensi Sarbica di Kuala Lumpur, Malaysia, 16-21 Juli 1990 yang menyebutkan dua periode program sejarah lisan, yaitu 1973-1979 dan 1980-1990.
Selama periode 1973-1979 menghasilkan 313 kaset rekaman wawancara dengan 121 pengkisah (istilah yang perlu dipertimbangkan kembali) dari 21 kota oleh 31 pewawancara. Dalam periode ini terjadi peningkatan jumlah kaset rekaman wawancara dan pengkisah yang cukup signifikan pada tahun 1976, yakni 103 kaset rekaman wawancara dengan 56 pengkisah. Jumlahnya menurun drastis pada tahun 1979 karena hanya mampu melakukan wawancara kepada 6 pengkisah yang tersimpan dalam 23 kaset rekaman wawancara. Kegairahan program sejarah lisan meningkat kembali pada periode 1980-1990, terutama untuk tahun 1982 dan 1983 yang berhasil menghimpun 637 kaset rekaman wawancara dari 214 pengkisah dari 12 kota oleh 62 pewawancara. Setelah itu terjani penurunan. Pada tahun 1989 tercatat 197 kaset rekaman wawancara dari 48 pengkisah dari 2 kota oleh 13 pewawancara. Agaknya sejarah lisan di Indonesia telah mengalami ‘orgasme’ pada tahun 1982-1983.